Indonesia berkomitmen kuat untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan membangun ekonomi rendah karbon yang tangguh terhadap iklim. Hal ini sejalan dengan pernyataan Presiden Prabowo Subianto dalam Majelis Umum PBB bulan September 2025 yang menegaskan kembali komitmen Indonesia untuk mencapai Net Zero Emissions pada tahun 2060.
Indonesia telah merumuskan rencana konkret untuk dekarbonisasi berdasarkan profil emisinya, diantaranya yaitu dekarbonisasi jaringan listrik melalui transisi dari batu bara ke energi terbarukan, elektrifikasi transportasi dengan pengembangan kendaraan listrik dan baterai, industri bersih dengan mendorong penggunaan bahan bakar rendah karbon, perlindungan dan restorasi alam melalui solusi berbasis alam untuk penyerapan karbon, serta Carbon Capture and Storage (CCS) dengan teknologi untuk menangkap dan menyimpan emisi karbon berlebih.
Salah satu tantangan yang sedang dihadapi Indonesia yaitu bagaimana menjaga pertumbuhan ekonomi yang masih bergantung pada sektor padat energi seperti baja, semen, kimia, dan transportasi, sambil beralih menuju energi yang lebih bersih dan berkeadilan. Teknologi Carbon Capture and Storage (CCS) dan Carbon Capture, Utilization and Storage (CCUS) ini menjadi penting untuk memenuhi kebutuhan energi industri sekaligus menekan emisi dari sektor yang sulit dikurangi.
“Kalau dilihat dari carbon emission and storage memang kita lihat untuk pertumbuhan 8% itu dibutuhkan sektor industri yang menopang dan mendorong pertumbuhan ekonomi itu. Dan industri-industri yang paling besar untuk menopang terkait dengan pertumbuhan ekonomi itu ada di semen, gas, dan baja. Disini bagaimana kita mendekarbonisasinya melalui salah satu teknologi yaitu CCS,” tutur Asisten Deputi Percepatan Transisi Energi Farah Heliantina yang hadir mewakili Deputi Bidang Koordinasi Energi dan Sumber Daya Mineral Elen Setiadi dalam sesi plenary pada acara The International & Indonesia Carbon Capture and Storage (IICCS) Forum 2025 di Jakarta, Selasa (7/10).
Teknologi CCS membutuhkan investasi skala besar. Untuk itu, Indonesia sedang membangun kemitraan yang kuat dan mengembangkan model pembiayaan inovatif seperti penetapan harga karbon, pembiayaan campuran, dan dukungan multilateral. Indonesia juga sudah berkolaborasi diantaranya dengan ExxonMobil, British Petroleum, dan Pertamina dan mitra lainnya untuk membangun ekosistem CCS/CCUS nasional.
Selain itu, dari sisi regulasi, Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2024 tentang CCS, yang menjamin kepastian hukum untuk penangkapan, pengangkutan, dan penyimpanan. Presiden Prabowo Subianto juga telah menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2025 tentang Kebijakan Energi Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2025 tentang Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, yang memperkuat kerangka regulasi dan iklim investasi.
Keberhasilan penerapan CCS tidak hanya bergantung pada regulasi dan investasi, tetapi juga pada kapasitas manusia dan inovasi. Pemerintah perlu terus memperkuat ekosistem pendidikan, penelitian, dan inovasi, untuk membangun keterampilan yang dibutuhkan dalam memperkuat tata kelola pengembangan CCS.
“Jadi sebenarnya CCS ini lintas sektor, lintas kementerian, dan lintas agensi. Jadi untuk menginstrumenkan agar inisiatif ini dapat berjalan dengan baik, salah satunya kemarin di awal tahun Kemenko Perekonomian berinisiatif untuk meluncurkan Satgas, yaitu Satgas Energi Transisi dan Ekonomi Hijau. Kita sebut Satgas TEH atau The Energy Transition and Green Economy Task Force. Jadi diharapkan melalui Satgas ini kita bisa saling berkoordinasi dan bersinkronisasi terhadap kebijakan-kebijakan yang sedang disiapkan oleh Pemerintah,” pungkas Asdep Farah. (dlt/fsr).
Sumber : ekon.go.id










